Kata
Hidayah berasal dari bahasa Arab atau bahasa Al-Qur’an yang telah
menjadi bahasa Indonesia. Akar katanya ialah : hadaa, yahdii, hadyan,
hudan, hidyatan, hidaayatan. Khusus yang terakhir, kata hidaayatan kalau
wakaf (berhenti) di baca : Hidayah, nyaris seperti ucapan bahasa
Indonesia. Hidayah secara bahasa berarti petunjuk. Lawan katanya adalah :
“Dholalah” yang berarti “kesesatan”. Secara istilah (terminologi),
Hidayah ialah penjelasan dan petunjuk jalan yang akan menyampaikan
kepada tujuan sehingga meraih kemenangan di sisi Allah. Sebagaimana
firman Allah Swt yang artinya:
“Mereka
itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan Pencipta mereka, dan
(sebab itu) merekalah orang-orang yang sukses.” (Q.S. Al-Baqarah: 5)
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia 2011, disebutkan bahwa hidayah berarti
petunjuk atau tuntunan dari Tuhan dan kata sukses berarti berhasil atau
beruntung. Jadi, bila manusia ingin menggapai suatu kesuksesan harus
mengikuti petunjuk atau tuntunan dari Allah Swt baik sebelum maupun
sesudah kesuksesan itu tercapai.
Berdasarkan
ayat Al Qur'an dan pengertian tersebut dapat dinyatakan dbahwa hidayah
merupakan perkara yang paling penting dan kebutuhan yang paling urgen
dalam kehidupan manusia. Betapa tidak, hidayah adalah sebab utama
keselamatan dan kebaikan hidup manusia di dunia dan akhirat. Sehingga
barangsiapa yang dimudahkan oleh Allah Ta’ala untuk meraihnya, maka
sungguh dia telah meraih keberuntungan atau kesuksesan yang besar dan
tidak akan ada seorang pun yang mampu mencelakakannya.
Di
atas dikatakan bahwa sebelum kesuksesan itu tercapai dibutuhkan hidayah
dalam proses pencapaiannya. Setidaknya ada 2 macam hidayah yang harus
dimohonkan kepada Allah Swt. Pertama,hidayah untuk memilih jalan yang
lapang yang dapat menghantarkan kita kepada puncak kesuksesan. Kedua,
hidayah untuk memilih cara menempuh jalan tersebut agar dengan mudah
dapat selamat pada tujuan. Karena hidayah (petunjuk) untuk mengetahui
suatu jalan berbeda dengan petunjuk untuk menempuh jalan tersebut.
Bukankah anda pernah mendapati seorang yang mengetahui jalan menuju kota
Semarang misalnya,kalau berangkat dari Cepu yang paling nyaman ya naik
kereta api, akan tetapi ada orang yang memilih mengendarai mobil sendiri
padahal dia rambu-rambu yang mengarah ke kota Semarang maka tersesatlah
dia.
Demikain
pula setelah kesuksesan itu tercapai juga dibutuhkan hidayah untuk
memnfaatkannya. Di antara tanda-tanda orang yang mendapat hidayah
setelah dia mencapai kesuksesan antara lain:
- dia tidak sombong atas keberhasilannya itu,
- tidak tamak atas hasil diperoleh
- dia semakin tawaduk dan merendahkan diri,
- banyak bersyukur seraya meningkatkan ibadah kepada Allah Swt.
Allah Ta’ala berfirman:
{مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي وَمَنْ يُضْلِلْ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ}
“Barangsiapa
yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk
(dalam semua kebaikan dunia dan akhirat); dan barangsiapa yang
disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi (dunia dan
akhirat)” (QS al-A’raaf:178).
Dalam ayat lain, Dia Ta’ala juga berfirman:
{مَن يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا}
“Barangsiapa
yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk
(dalam semua kebaikan dunia dan akhirat); dan barangsiapa yang
disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun yang
dapat memberi petunjuk kepadanya” (QS al-Kahf:17).
Kebutuhan manusia kepada hidayah Allah Ta’ala
Allah
Ta’ala memerintahkan kepada kita dalam setiap rakaat shalat untuk
selalu memohon kepada-Nya hidayah ke jalan yang lurus di dalam surah
al-Fatihah yang merupakan surah yang paling agung dalam Al-Qur-an1,
karena sangat besar dan mendesaknya kebutuhan manusia terhadap hidayah
Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman:
{اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ}
“Berikanlah kepada kami hidayah ke jalan yang lurus”.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Seorang hamba senantiasa kebutuhannya
sangat mendesak terhadap kandungan doa (dalam ayat) ini, karena
sesungguhnya tidak ada keselamatan dari siksa (Neraka) dan pencapaian
kebahagiaan (yang abadi di Surga) kecuali dengan hidayah (dari Allah
Ta’ala) ini. Maka barangsiapa yang tidak mendapatkan hidayah ini berarti
dia termasuk orang-orang yang dimurkai oleh Allah (seperti orang-orang
Yahudi) atau orang-orang yang tersesat (seperti orang-orang Nashrani)”2.
Lebih
lanjut, Imam Ibnul Qayyim memaparkan hal ini dengan lebih terperinci,
beliau berkata: “Seorang hamba sangat membutuhkan hidayah di setiap
waktu dan tarikan nafasnya, dalam semua (perbuatan)yang dilakukan maupun
yang ditinggalkannya. Karena hamba tersebut berada di dalam beberapa
perkara yang dia tidak bisa lepas darinya:
Yang
pertama; perkara-perkara yang dilakukannya (dengan cara) yang tidak
sesuai dengan hidayah (petunjuk Allah Ta’ala) karena kebodohannya, maka
dia butuh untuk memohon hidayah Allah kepada kebenaran dalam
perkara-perkara tersebut.
Atau
dia telah mengetahui hidayah (kebenaran) dalam perkara-perkara
tersebut, akan tetapi dia mengerjakannya (dengan cara) yang tidak sesuai
dengan hidayahsecara sengaja, maka dia butuh untuk bertaubat dari
(kesalahan) tersebut.
Atau
perkara-perkara yang dia tidak mengetahui segi hidayah (kebenaran)
padanya, baik dalam ilmu dan amal, sehingga luput darinya hidayah untuk
mengenal dan mengetahui perkara-perkara tersebut (secara benar), serta
untuk meniatkan dan mengerjakannya.
Atau
perkara-perkara yang dia telah mendapat hidayah (kebenaran) padanya
dari satu sisi, tapi tidak dari sisi lain, maka dia butuh kesempurnaan
hidayah padanya.
Atau
perkara-perkara yang dia telah mendapat hidayah (kebenaran) padanya
secara asal (garis besar), tapi tidak secara detail, sehingga dia butuh
hidayah (pada) perincian (perkara-perkara tersebut).
Atau
jalan (kebenaran) yang dia telah mendapat hidayah kepadanya, tapi dia
membutuhkan hidayah lain di dalam (menempuh) jalan tersebut.
Demikian
pula perkara-perkara yang dia butuh untuk mendapatkan hidayah dalam
mengerjakannya di waktu mendatang sebagaimana dia telah mendapatkannya
di waktu yang lalu.
Dan
perkara-perkara yang dia tidak memiliki keyakinan benar atau salahnya
(perkara-perkara tersebut), maka dia membutuhkan hidayah (untuk
mengetahui mana yang) benardalam perkara-perkara tersebut.
Dan
perkara-perkara yang dia yakini bahwa dirinya berada di atas petunjuk
(kebenaran) padanya, padahal dia berada dalam kesesatan tanpa
disadarinya, sehingga dia membutuhkan hidayah dari Allah untuk
meninggalkan keyakinan salah tersebut.
Dan
perkara-perkara yang telah dikerjakannya sesuai dengan hidayah
(kebenaran), tapi dia butuh untuk memberi bimbingan, petunjuk dan
nasehat kepada orang lain untuk mengerjakan perkara-perkara tersebut
(dengan benar). Maka ketidakperduliannya terhadap hal ini akan
menjadikannya terhalang mendapatkan hidayah sesuai dengan (kadar)
ketidakperduliannya, sebagaimana petunjuk, bimbingan dan nasehatnya
kepada orang lain akan membukakan baginya pintu hidayah, karena balasan
(yang Allah Y berikan kepada hamba-Nya) sesuai dengan jenis
perbuatannya”3.
Oleh
karena itu, Imam Ibnu Katsir ketika menjawab pertanyaan sehubungan
dengan makna ayat di atas: bagaimana mungkin seorang mukmin selalu
meminta hidayah di setiap waktu, baik di dalam shalat maupun di luar
shalat, padahal dia telah mendapatkan hidayah, apakah ini termasuk
meminta sesuatu yang telah ada pada dirinya atau tidak demikian?
Imam
Ibnu Katsir berkata: “Jawabannya: tidak demikian, kalaulah bukan karena
kebutuhan seorang mukmin di siang dan malam untuk memohon hidayah maka
Allah tidak akan memerintahkan hal itu kepadanya. Karena sesungguhnya
seorang hamba di setiap waktu dan keadaan sangat membutuhkan
(pertolongan) Allah Ta’ala untuk menetapkan dan meneguhkan dirinya di
atas hidayah-Nya, juga membukakan mata hatinya, menambahkan kesempurnaan
dan keistiqamahan dirinya di atas hidayah-Nya.Sungguh seorang hamba
tidak memiliki (kemampuan memberi) kebaikan atau keburukan bagi dirinya
sendiri kecuali dengan kehendak-Nya, maka Allah Ta’alamembimbingnya
untuk (selalu) memohon kepada-Nya di setiap waktu untuk menganugerahkan
kepadanya pertolongan, keteguhan dan taufik-Nya. Oleh karena itu, orang
yang beruntung adalah orang yang diberi taufik oleh Allah Ta’alauntuk
(selalu) memohon kepadanya, karena Allah Ta’ala telah menjamin
pengabulan bagi orang yang berdoa jika dia memohon kepada-Nya, terutama
seorang yang sangat butuh dan bergantung kepada-Nya (dengan selalu
bersungguh-sungguh berdoa kepada-Nya) di waktu-waktu malam dan di
tepi-tepi siang”4.
Makna, hakikat dan macam-macam hidayah
Hidayah secara bahasa berarti ar-rasyaad (bimbingan) dan ad-dalaalah (dalil/petunjuk)5.
Adapun secara syar’i, maka Imam Ibnul Qayyim membagi hidayah yang dinisbatkan kepada Allah Ta’ala menjadi empat macam:
1. Hidayah yang bersifat umum dan diberikan-Nya kepada semua makhluk, sebagaimana yang tersebut dalam firman-Nya:
{قَال َرَبُّنَا الَّذِي أَعْطَى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَى}
“Musa
berkata: “Rabb kami (Allah Ta’ala) ialah (Rabb) yang telah memberikan
kepada setiap makhluk bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk”
(QS Thaahaa: 50).
Inilah
hidayah (petunjuk) yang Allah Ta’ala berikan kepada semua makhluk dalam
hal yang berhubungan dengan kelangsungan dan kemaslahatan hidup mereka
dalam urusan-urusan dunia, seperti melakukan hal-hal yang bermanfaat dan
menjauhi hal-hal yang membinasakan untuk kelangsungan hidup di dunia.
2.
Hidayah (yang berupa) penjelasan dan keterangan tentang jalan yang baik
dan jalan yang buruk, serta jalan keselamatan dan jalan kebinasaan.
Hidayah ini tidak berarti melahirkan petunjuk Allah yang sempurna,
karena ini hanya merupakan sebab atau syarat, tapi tidak mesti
melahirkan (hidayah Allah Ta’ala yang sempurna). Inilah makna firman
Allah:
{وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَاهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمَى عَلَى الْهُدَى}
“Adapun
kaum Tsamud, mereka telah Kami beri petunjuk, tetapi mereka lebih
menyukai kebutaan (kesesatan) daripada petunjuk” (QS Fushshilat: 17).
Artinya: Kami jelaskan dan tunjukkan kepada mereka (jalan kebenaran) tapi mereka tidak mau mengikuti petunjuk.
Hidayah
inilah yang mampu dilakukan oleh manusia, yaitu dengan berdakwah dan
menyeru manusia ke jalan Allah, serta menjelaskan kepada mereka jalan
yang benar dan memperingatkan jalan yang salah, akan tetapi hidayah yang
sempurna (yaitu taufik) hanya ada di tangan Allah Ta’ala, meskipun
tentu saja hidayah ini merupakan sebab besar untuk membuka hati manusia
agar mau mengikuti petunjuk Allah Ta’ala dengan taufik-Nya.
Allah Ta’ala berfirman tentang Rasul-Nya:
{وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ}
“Sesungguhnya
engkau (wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam) benar-benar
memberi petunjuk (penjelasan dan bimbingan) kepada jalan yang lurus” (QS
asy-Syuuraa: 52).
3.
Hidayah taufik, ilham (dalam hati manusia untuk mengikuti jalan yang
benar) dan kelapangan dada untuk menerima kebenaran serta memilihnya.
inilah hidayah (sempurna) yang mesti menjadikan orang yang meraihnya
akan mengikuti petunjuk Allah Ta’ala. Inilah yang disebutkan dalam
firman-Nya:
{فإن الله يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ فَلا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ}
“Sesungguhnya
Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi hidayah
(taufik) kepada siapa yang dikehendaki-Nya” (QS Faathir: 8).
Dan firman-Nya:
{إِنْ تَحْرِصْ عَلَى هُدَاهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي مَنْ يُضِلُّ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ}
“Jika
engkau (wahai Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam) sangat mengharapkan
agar mereka mendapat petunjuk, maka sesungguhnya Allah tidak akan
memberi petunjuk kepada orang yang disesatkan-Nya dan mereka tidak
mempunyai penolong” (QS an-Nahl: 37).
Juga firman-Nya:
{إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ}
“Sesungguhnya
engkau (wahai Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam) tidak dapat
memberikan hidayah kepada orang yang engkau cintai, tetapi Allah
memberikan petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Dia yang
lebih mengetahui tentang orang-orang yang mau menerima petunjuk” (QS
al-Qashash: 56).
Maka
dalam ayat ini Allah menafikan hidayah ini (taufik) dari Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam dan menetapkan bagi beliau
Shallallahu’alaihi Wasallam hidayah dakwah (bimbingan/ajakan kepada
kebaikan) dan penjelasan dalam firman-Nya:
{وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ}
“Sesungguhnya
engkau (wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam) benar-benar
memberi petunjuk (penjelasan dan bimbingan) kepada jalan yang lurus” (QS
asy-Syuuraa: 52).
4. Puncak hidayah ini, yaitu hidayah kepada Surga dan Neraka ketika penghuninya digiring kepadanya.
Allah Ta’ala berfirman tentang ucapan penghuni Surga:
{وَقَالُوا
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ
لَوْلا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ}
“Segala
puji bagi Allah yang telah memberi hidayah kami ke (Surga) ini, dan
kami tidak akan mendapat hidayah (ke Surga) kalau sekiranya Allah tidak
menunjukkan kami” (QS al-A’raaf: 43).
Adapun tentang penghuni Neraka, Allah Ta’ala berfirman:
{احْشُرُوا الَّذِينَ ظَلَمُوا وَأَزْوَاجَهُمْ وَمَا كَانُوا يَعْبُدُونَ. مِنْ دُونِ اللهِ فَاهْدُوهُمْ إِلَى صِرَاطِ الْجَحِيمِ}
“Kumpulkanlah
orang-orang yang zhalim beserta teman-teman yang bersama mereka dan apa
yang dahulu mereka sembah selain Allah, lalu tunjukkanlah kepada mereka
jalan ke Neraka” (QS ash-Shaaffaat: 22-23)”6.
Dari sisi lain, Imam Ibnu Rajab al-Hambali membagi hidayah menjadi dua:
Hidayah
yang bersifat mujmal (garis besar/global), yaitu hidayah kepada agama
Islam dan iman, yang ini dianugerahkan-Nya kepada setiap muslim.
Hidayah
yang bersifat rinci dan detail, yaitu hidayah untuk mengetahui
perincian cabang-cabang imam dan islam, serta pertolongan-Nya untuk
mengamalkan semua itu. Hidayah ini sangat dibutuhkan oleh setiap mukmin
di siang dan malam”7.
Sumber: 1. https://muslim.or.id
2. https://onlinehidayah.wordpress.com
3. Suharso dan Ana Retnoningsih, 2011, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Widya Karya, Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar